Dari sinilah, perjalanan iman orang Windesi dimulai.Di atas tanah yang dulunya dianggap keramat dan penuh ketakutan, Injil pertama kali disiarkan, menumbuhkan keberanian dan harapan bagi masyarakat yang haus akan kebenaran dan kehidupan baru.
Langkah Pertama di Bukit Kamadiri (1889)
“Saya berusaha agar mereka menyadari bodohnya takhayul mereka.” Tindakan sederhana ini menjadi simbol awal dari perlawanan terhadap ketakutan dan kuasa lama, sekaligus penegasan bahwa iman kepada Kristus memiman kepada Kristus membawa kebebasan.
Dalam catatannya, Van Balen pernah menulis kalimat yang kini diingat sebagai refleksi imannya: “Kayu besi itu terus bertumbuh tanpa kentara, tetapi karena itu pula tidak kurang benarnya.” Ia membandingkan pertumbuhan iman orang Papua dengan kayu besi, pohon keras yang tumbuh lambat namun kokoh. Iman tidak tumbuh cepat, tetapi ketika berakar di tanah yang benar, ia akan berdiri teguh melampaui zaman.
(Kata-kata Van Balen ini menjadi simbol kesabaran dan ketekunan dalam pelayanan Injil di tanah Papua.)
(Tugu yang kini berdiri di puncak bukit menjadi monumen iman menandai tempat pertama Van Balen berkhotbah dan mengajarkan Firman Tuhan di Windesi.)
Cerita Tentang Ikan dalam Tempayan dan Tongkat yang Menjadi Ular
Menurut catatan F.C. Kamma (Ajaib di Mata Kita, Jilid III, 1993), masyarakat Windesi masih mengingat kisah terkenal tentang Van Balen dan seorang dukun. Diceritakan bahwa dukun itu melempar tongkatnya yang berubah menjadi ular, menantang Van Balen di depan masyarakat. Ia pergi ke dapur, mengambil seekor ikan asar, lalu mengisinya ke dalam bejana berisi air. Ketika ia berdoa, ikan itu tampak hidup kembali dan berenang perlahan di dalam air. Dukun itu meninggalkan tempat itu, dan masyarakat berkata, “Tuhan Van Balen lebih besar dari roh kami.”
Kamma menulis bahwa kisah ini mungkin telah menjadi legenda, tetapi pesan rohaninya tetap hidup, bahwa kasih dan iman dapat menaklukkan ketakutan, dan Injil membawa kebebasan sejati bagi manusia.
(Kisah ini menjadi simbol kemenangan kasih Allah atas ketakutan manusia. Bukan untuk menaklukkan, tetapi untuk membebaskan.)
Sekolah Dan Bengkel
Setelah Injil berakar, Van Balen mendirikan sekolah dan bengkel kerja di kaki bukit. Anak-anak Windesi belajar membaca, menulis. Ia mengajarkan bahwa pekerjaan adalah ibadah, bahwa iman sejati terlihat dalam cara seseorang bekerja dengan jujur. Kini, hanya pondasi dan puingnya yang tersisa, namun semangat kerja dan belajar masih terasa di setiap jemaat Kamadiri.
(Tempat ini menjadi saksi bagaimana Injil mengubah cara hidup, dari berdoa saja menjadi bekerja dengan iman.)
Bekas Pondasi Rumah Direktur dan Sumur Tua
Tidak jauh dari tugu, berdiri sisa-sisa rumah Van Balen dan sumur tua yang digalinya bersama warga. Sumur itu menjadi sumber air bagi keluarga zendeling dan masyarakat selama musim kering.
Tanah yang Diberkati
Dari puncak Bukit Kamadiri, hamparan pulau-pulau kecil terlihat indah. Dari tempat ini pula, Van Balen bermimpi agar Injil menyeberang ke Etiobi, Karuani dan daerah-daerah pegunungan di belakang Windesi. Beberapa tahun kemudian, mimpi itu terwujud ketika masyarakat dari daerah sekitar datang meminta pengajaran Injil. “Mereka menolak menjadi Islam, tidak mau pula tetap dengan adat — maka tinggal satu pilihan: menjadi Kristen.” (Van Balen, 1907)
(Dari sinilah doa dan harapan untuk seluruh Teluk Wondama dimulai.)
Gereja Kamadiri : Terang yang Tetap Menyala
Kini, di tanah yang sama berdiri bangunan Gereja GKI Yauna Papo to Yauna Bepui Kamadiri, simbol bahwa terang Injil tidak pernah padam. Setiap ibadah yang dilaksanakan di sini adalah bentuk syukur atas kasih Tuhan yang dulu dinyalakan oleh seorang zendeling dan kini diteruskan oleh generasi Papua sendiri.
(Dari rumah sederhana Van Balen hingga gereja yang kokoh, kasih Tuhan tetap sama, kemarin, hari ini, dan selamanya.)
Terang yang Tak Pernah Padam
“Mungkin kita datang hanya untuk melihat tugu dan reruntuhan tua, tetapi di balik batu-batu itu, iman yang hidup masih berbicara.”
Bukit Kamadiri bukan sekadar tempat wisata, melainkan Tanah perjanjian iman. Setiap batu dan sumur tua di sini bercerita tentang kesetiaan, kerja, dan kasih Tuhan. Dari tempat ini, Injil pertama kali bersinar bukan dengan kekuatan, melainkan dengan kelembutan hati seorang hamba Tuhan dan umat yang mau belajar percaya.
Mari, datanglah ke Bukit Kamadiri, rasakan keheningan dan sejarahnya. Biarkan langkah Anda menjadi doa, dan pandangan Anda menjadi pujian bagi Tuhan yang penuh kasih dan rahmat.
Mari bersama menjaga dan merawat Situs Pekabaran Injil Kamadiri–Windesi, agar generasi mendatang mengenal bahwa terang dari bukit ini tidak pernah padam. (Tim Redaksi Elim)
Tambahkan Komentar Baru