Di tengah hamparan biru Teluk Wondama, berdiri sebuah bukit kecil yang menatap laut dan langit. Bukit itu bernama Kamadiri, sebuah tempat yang kini menjadi saksi bisu lahirnya terang Injil di Windesi, Papua Barat. Lebih dari seabad yang lalu, zendeling asal Belanda Jan Adrian Van Balen melangkahkan kakinya di tanah ini  membawa kabar tentang kasih Kristus yang mengubah sejarah.

Dari sinilah, perjalanan iman orang Windesi dimulai.Di atas tanah yang dulunya dianggap keramat dan penuh ketakutan, Injil pertama kali disiarkan, menumbuhkan keberanian dan harapan bagi masyarakat yang haus akan kebenaran dan kehidupan baru.

Langkah Pertama di Bukit Kamadiri (1889)

Pada 20 Januari 1889, Van Balen tiba di Windesi bersama Akwila dari Mansinam dan istrinya Priskila dari Windesi.
Keduanya menjadi pendamping setia dalam pelayanan awal di wilayah ini. Di atas tempat yang dianggap keramat, Van Balen membangun rumah pertamanya.Masyarakat saat itu takut , mereka percaya roh-roh jahat berdiam di tempat  itu ,namun Van Balen dengan berani berkata:

Saya berusaha agar mereka menyadari bodohnya takhayul mereka.” Tindakan sederhana ini menjadi simbol awal dari perlawanan terhadap ketakutan dan kuasa lama, sekaligus penegasan bahwa iman kepada Kristus memiman kepada Kristus membawa kebebasan.

(Gapura sederhana di kaki bukit Kamadiri kini menjadi gerbang ziarah rohani. Setiap pengunjung yang melewatinya menapaki jejak sejarah yang telah menumbuhkan iman di Tanah Papua.)

Iman Yang Tumbuh Seperti Kayu Besi

Dalam catatannya, Van Balen pernah menulis kalimat yang kini diingat sebagai refleksi imannya: Kayu besi itu terus bertumbuh tanpa kentara, tetapi karena itu pula tidak kurang benarnya.” Ia membandingkan pertumbuhan iman orang Papua dengan kayu besi, pohon keras yang tumbuh lambat namun kokoh. Iman tidak tumbuh cepat, tetapi ketika berakar di tanah yang benar, ia akan berdiri teguh melampaui zaman.


(Kata-kata Van Balen ini menjadi simbol kesabaran dan ketekunan dalam pelayanan Injil di tanah Papua.)

Tantangan, Wabah, dan Kesetiaan

Antara 1899–1901, Windesi dilanda wabah disentri yang mematikan. Banyak orang meninggal dan sebagian kembali mencari pertolongan kepada dukun (inderri). Namun Van Balen tetap tinggal di tempatnya, merawat orang sakit dan menguburkan korban dengan doa.
Ia menulis dengan hati yang pedih namun penuh iman: "Mereka mencari pertolongan kepada roh, bukan kepada Tuhan.” Dalam masa gelap itu, pelayanan kasih menjadi terang satu-satunya.


(Tugu yang kini berdiri di puncak bukit menjadi monumen iman menandai tempat pertama Van Balen berkhotbah dan mengajarkan Firman Tuhan di Windesi.)

Cerita Tentang Ikan dalam Tempayan dan Tongkat yang Menjadi Ular

Menurut catatan F.C. Kamma (Ajaib di Mata Kita, Jilid III, 1993), masyarakat Windesi masih mengingat kisah terkenal tentang Van Balen dan seorang dukun. Diceritakan bahwa dukun itu melempar tongkatnya yang berubah menjadi ular,   menantang Van Balen di depan masyarakat. Ia pergi ke dapur, mengambil seekor ikan asar, lalu mengisinya ke dalam bejana berisi air. Ketika ia berdoa, ikan itu tampak hidup kembali dan berenang perlahan di dalam air. Dukun itu meninggalkan tempat itu, dan masyarakat berkata, Tuhan Van Balen lebih besar dari roh kami.

Kamma menulis bahwa kisah ini mungkin telah menjadi legenda, tetapi pesan rohaninya tetap hidup, bahwa kasih dan iman dapat menaklukkan ketakutan, dan Injil membawa kebebasan sejati bagi manusia.

(Kisah ini menjadi simbol kemenangan kasih Allah atas ketakutan manusia. Bukan untuk menaklukkan, tetapi untuk membebaskan.)

Sekolah Dan Bengkel

Setelah Injil berakar, Van Balen mendirikan sekolah dan bengkel kerja di kaki bukit. Anak-anak Windesi belajar membaca, menulis. Ia mengajarkan bahwa pekerjaan adalah ibadah, bahwa iman sejati terlihat dalam cara seseorang bekerja dengan jujur. Kini, hanya pondasi dan puingnya yang tersisa, namun semangat kerja dan belajar masih terasa di setiap jemaat Kamadiri.


(Tempat ini menjadi saksi bagaimana Injil mengubah cara hidup, dari berdoa saja menjadi bekerja dengan iman.)

Bekas Pondasi Rumah Direktur dan Sumur Tua

Tidak jauh dari tugu, berdiri sisa-sisa rumah Van Balen dan sumur tua yang digalinya bersama warga. Sumur itu menjadi sumber air bagi keluarga zendeling dan masyarakat selama musim kering. 


Tanah yang Diberkati

Dari puncak Bukit Kamadiri, hamparan pulau-pulau kecil terlihat indah. Dari tempat ini pula, Van Balen bermimpi agar Injil menyeberang ke Etiobi, Karuani dan daerah-daerah pegunungan di belakang Windesi. Beberapa tahun kemudian, mimpi itu terwujud ketika masyarakat dari daerah sekitar datang meminta pengajaran Injil. Mereka menolak menjadi Islam, tidak mau pula tetap dengan adat — maka tinggal satu pilihan: menjadi Kristen.”  (Van Balen, 1907)


(Dari sinilah doa dan harapan untuk seluruh Teluk Wondama dimulai.)

Gereja Kamadiri : Terang yang Tetap Menyala

Kini, di tanah yang sama berdiri bangunan Gereja GKI Yauna Papo to Yauna Bepui Kamadiri, simbol bahwa terang Injil tidak pernah padam. Setiap ibadah yang dilaksanakan di sini adalah bentuk syukur atas kasih Tuhan yang dulu dinyalakan oleh seorang zendeling dan kini diteruskan oleh generasi Papua sendiri.

(Dari rumah sederhana Van Balen hingga gereja yang kokoh, kasih Tuhan tetap sama, kemarin, hari ini, dan selamanya.)


Terang yang Tak Pernah Padam

“Mungkin kita datang hanya untuk melihat tugu dan reruntuhan tua, tetapi di balik batu-batu itu, iman yang hidup masih berbicara.”

Bukit Kamadiri bukan sekadar tempat wisata, melainkan Tanah perjanjian iman. Setiap batu dan sumur tua di sini bercerita tentang kesetiaan, kerja, dan kasih Tuhan. Dari tempat ini, Injil pertama kali bersinar  bukan dengan kekuatan, melainkan dengan kelembutan hati seorang hamba Tuhan dan umat yang mau belajar percaya.

Mari, datanglah ke Bukit Kamadiri, rasakan keheningan dan sejarahnya. Biarkan langkah Anda menjadi doa, dan pandangan Anda menjadi pujian bagi Tuhan yang penuh kasih dan rahmat.

Mari bersama menjaga dan merawat Situs Pekabaran Injil Kamadiri–Windesi, agar generasi mendatang mengenal bahwa terang dari bukit ini tidak pernah padam. (Tim Redaksi Elim)