Gambaran Umum
GKI Elim Tamoge
memiliki sejarah panjang yang berakar dari perjalanan historis dan teologis
umat di wilayah Kuri Wamesa. Keberadaannya adalah bukti nyata karya penyertaan
Tuhan yang memimpin umat-Nya dari ketiadaan menuju keberadaan demi kasih-Nya.
Firman Tuhan telah menjangkau masyarakat Kurube, Werianggi, dan Tatiorim,
menjadikan mereka sebagai pewaris tanah dan negeri Kuri Wamesa yang senantiasa
berada dalam lindungan-Nya.
Awal Mula Pekabaran Injil
Pekabaran Injil
di wilayah ini bermula pada bulan Desember 1909 ketika salah satu moyang dari
Marga Kurube, yaitu Tonobanu (nama Kristen: Matius Kurube), mengunjungi
saudaranya di Windesi. Di sana, ia menyaksikan perayaan Natal yang dipimpin
oleh zendeling Jan Adrian van Balen bersama jemaat Windesi. Keindahan pohon
terang, nyala lilin, dan alunan suling bambu dalam ibadah tersebut meninggalkan
kesan mendalam di hatinya. Ia pun memiliki kerinduan untuk membawa terang Injil
ke tanah kelahirannya.
Tonobanu
kemudian meminta kepada zendeling Jan Adrian van Balen agar mengutus seorang
guru Injil ke Werindiarni. Permintaan ini disetujui dengan syarat masyarakat
harus berhenti melakukan perang suku, tidak menangkap budak, serta bersedia
membangun kampung dan rumah ibadah secara bersama-sama. Dengan penuh semangat,
Tonobanu kembali ke kampungnya membawa simbol perayaan Natal serta kabar baik
tentang Injil.
Kesepakatan Tiga Marga
Setibanya di
kampung, Tonobanu mengajak dua marga lainnya, yakni Marga Werianggi dan Marga
Tatiorim, untuk bersama-sama menerima Injil. Ia menemui moyang Asumori dari
Marga Werianggi di Bukit Tamoge, dan moyang Asiani dari Marga Tatiorim di Bukit
Yabakiori. Meski menghadapi berbagai tantangan, termasuk penolakan dari
keluarga sendiri, ketiga marga akhirnya sepakat untuk bersatu dalam menerima
Injil dan meminta pengajaran dari seorang guru Injil.
Kesepakatan
bersejarah ini ditandai melalui pertemuan besar di dataran Sungai Wenikini,
sekitar 500 meter dari lokasi Kampung Werianggi saat ini. Di sana, mereka
mengikat tiga utas tali rotan sebagai simbol komitmen dan kesatuan. Kampung
Werianggi kemudian dipilih sebagai tempat tinggal bersama, dan proses
pembangunan rumah serta gereja pun dimulai.
Perkembangan Jemaat
Dengan semangat
iman yang diwariskan para pendahulu, jemaat terus bertumbuh. Sejak tanggal 5
Januari, perayaan Meja Persekutuan diadakan setiap tahun sebagai
momentum untuk memperingati kesatuan dan perjalanan rohani jemaat.
Pada tanggal 9
Juli 2021, Gedung Gereja Darurat Efata Werianggi dibangun di Tamoge oleh Ketua
Majelis Jemaat GKI Efata Werianggi, Bapa Guru Johannis P. Ruhukail, yang juga
menjabat sebagai Anggota Badan Pekerja Bakal Klasis Windesi. Lima bulan
kemudian, pada 10 November 2021, Bakal Jemaat Efata Werianggi di Tamoge
menerima kelengkapan gereja (mimbar, lonceng, dan alat sakramen) dan
ditahbiskan oleh Badan Pekerja Bakal Klasis Windesi. Pada hari yang sama,
lonceng gereja pertama kali dibunyikan di dataran Passos Kampung Tamoge,
menandai dimulainya kegiatan ibadah.
Ibadah Minggu
pertama dilaksanakan pada tanggal 14 November 2021 di Gedung Gereja Darurat.
Setahun kemudian, pada 24 Oktober 2022, Jemaat Efata Werianggi secara
kelembagaan melahirkan Jemaat GKI Elim Tamoge melalui Sidang Perdana Klasis
Windesi. Secara teologis, pemberitaan Injil telah berlangsung jauh sebelumnya
sebagai embrio dari berdirinya GKI Elim Tamoge.
Puncak
perjalanan ini terjadi pada tanggal 11 Desember 2023 dengan ditahbiskannya
Gedung Gereja Permanen GKI Elim Tamoge sebagai rumah ibadah yang kudus, tempat
umat memuji, menyembah, dan bersekutu dengan Tuhan.
Penutup
Sejarah GKI Elim Tamoge merupakan bukti nyata kasih dan penyertaan Allah yang memimpin umat-Nya dari awal mula pekabaran Injil hingga menjadi jemaat yang dewasa dan mandiri. Kini, GKI Elim Tamoge menjadi tempat bagi banyak suku dan latar belakang